Rabu, 01 Februari 2012

Puisi


Dengar kata puisi aku langsung semangat. Bukannya aku jago atau pandai buat puisi, ga bener sama sekali. Tapi aku suka dengan puisi. Kata-kata indah yang menawan hati. Ternyata aku mendapatkan kesukaan ini turun temurun. Alias mama dan tante aku juga penikmat puisi. Kini adik aku juga kecantolan buat puisi. Tapi kami bukanlah keluarga yang terkenal sebagai penyair, sekali lagi itu pendapat yang salah.

Membaca puisi. Pertama kali aku membaca puisi yaitu puisi yang ada di buku anak SD berjudul Walau Hujan. Terus aku suka jug abaca puisi karangan orang-orang terkenal. Biarpun kebanyakan aku ga ngerti maksudnya kayak gimana. Makanya aku ga suka pelajaran bahasa Indonesia yang disuruh mencari makna dalam puisi. Hellooow, itu puisi orang, tanya aja sama orangnya langung, kok nanyain ke aku? Wong aku nulis puisi sendiri aja kadang ga tau apa maksud dari puisinya. Hobi aku terus berlanjut juga sampai baca puisi-puisi yang masuk di majalah (dari Bo** sampai majalah TE**). Dari membaca puisi itu aku bisa merasa apa yang disampaikan oleh mereka (iyalah, puisinya terang-terangan isinya).

Menulis puisi. Pertama kali menulis puisi sih SMP. Aku ga ingat pernah atau ga waktu SD, lupa. Terus waktu menulis puisi yang resmi (maksudnya di sekolah) ya SMP juga. Waktu itu kami dibagi berkelompok-kelompok. Boleh menulis puisi apa saja. Puisi ku judulnya Burung. Heh, peringatan: jangan diartiin or dibaca secara aneh ya. Yahh, maksud aku kan ingin seperti burung yang dapat terbang bebas dengan sayapnya. Tapi yang ada malah puisiku dicopotin dari dinding belakang kelas dan mungkin dijadikan bahan ejekan. Catat: dulu SMP ku kekurangan kelas, jadi kami berbagi kelas dengan kakak kelas, makanya ada sekolah pagi dan sekolah sore. Well, aku ga jera nulis puisi. Terbukti dengan gencarnya aku nulis puisi waktu SMA, lagi parah-parahnya kegalauanku. Terus puisi resmi yang kedua disuruh buat oleh bapak guru bahasa-ku waktu kelas 2. Sebenarnya waktu kelas 1 waktu pelajaran drama sama ibu guru-nya juga disuruh buat puisi dan dikumpulin. Cuma aku ga mood sama ibunya dan emang ga mood nulis puisi waktu itu (ibunya ga ada, untunglah). Jadi aku pergi ke perpus yang letaknya deket banget dari kelasku. Menurut aku, kelasku yang waktu itu adalah kelas terpojok yang terpencil dari dunia sekolah, hehee, tapi itu kelas yang paling berkesan waktu SMA. Lanjut. Aku akhirnya menyadap puisi orang buat tugas aku itu. Tapi dengan sedikit perubahan kata-kata, biar kelihatan seperti puisi amatir karya anak SMA alih-alih puisi sastrawan. Judulnya Antara Mata dan Hati. Simaklah.

Berhati-hatilah memata-matai hati
Hati laksana embun pagi
Matalah memperhatikan hati
Hati tak semata-mata tuk dihati
Di mata hanya mata
Di hati mata hati
Dari mana mata, dari hatikah?
Dari mana hati, bukankah dari hati
Mata cermin hati
Dari mata pasti ke hati
Matalah memperhatikan hati
Bermata tidak berhenti
Bermatakan hati tak buta
Hanya mata hati-hati
Hingga hati sunyi abadi


Aku ga ingat pernah disuruh baca ga ya puisi itu di depan kelas. Pokoknya yang resmi puisinya tu waktu kelas 2 sama bapak Ja*** itu lah. Waktu itu puisi yang disuruh kayak puisi perlambangan, jadi isinya ga langsung jelas secara gambling melainkan dengan rupa benda atau binatang. Aku agak pusing dikit sih waktu nyari inspirasi waktu buatnya. Waktu aku buat puisinya dan ditunjukin ke bapaknya. Bapaknya kan bertugas buat perbaikin kalo ada yang kurang tepat. Tapi menurut aku kata-kata yang bapaknya ingin aku ganti di dalam puisi aku malah ga tepat dengan yang aku ingin sampaikan lewat puisi itu. Akhirnya aku mutusin bahwa, ini pusi gue, so elo diem aje pak. Hehee. Terus masalah judul, aku waktu itu bingung banget mau dinamain apa nih puisi. Puisi Tanpa Judul, oke tuh. Tapi ga bisa lah. Aku harus nemu judul yang pas dengan isi puisiku. Akhirnya setelah semedi lama di kamar mandi. (Tempat faforit nemu inspirasi). Aku namain puisi aku dengan judul Hembusan Pelangi Kehidupan. Mau liat isinya kayak gimana. Simaklah.

Mawar merah
Cerah merekah di taman penuh warna
Diiringi putaran dentang jarum waktu
Merindukan sang bintang
Menunggu di sela kekelaman
Saat mendung mengharap hujan
Hingga mawar rusak menjadi layu
Dan bintang memilih bulan..


Aku bilang ke bapaknya, mawar ya saya pak. Merah ya maksudnya bagus dan indah. Cerah merekah ya maksudnya lagi tumbuh berkembang. Di taman penuh warna ya kehidupannya itu sendiri. Putaran dentang jarum waktu ya arti yang sebenarnya. Sang bintang ya pujaan hati. (Malu aku pas ngomong yang ini ke bapaknya, bapaknya juga senyum-senyum lagi). Di sela kekelaman ya maksudnya kegalauan gitu loh sama sang pujaan hati. Saat mendung mengharap hujan maksudnya saat mengharap balas cintanya getooh, hujan kan dianggap rahmat atau hadiah, saat dimana mendung tapi ga juga hujan kan orang biasanya cemas dan suka bertanya-tanya getooh. Mawar rusak menjadi layu ya maksudnya sayanya tak sadar bahwa tindakan itu telah merubah hidup saya jadi hancur. Bintang memilih bulan ya maksudnya sang pujaan hati memilih orang yang sederajat dengan dia, bulan dan bintang kan di langit sedangkan mawar kan di bumi, itu kan jarak yang ga sederajat maksudnya. Sederajatnya dalam artian fisik dan materi boleh. Setelah ditanya ini dan itu waktu menjelaskan puisi sendiri ini aku dapat nilai 80’an. Jiah, napa ga 90’an sih pak. Pelit amat. Hehee.

Mengapresiasikan puisi atau musikalisasi puisi. Waktu SMP pernah nih disuruh tugas. Tapi gara-gara aku sakit, aku ya sekelompok dengan anak-anak lain yang juga waktu itu ga masuk. Aku sekelompok dengan temenku F**, dan A***. Untung aja mereka berdua sangat lebih cakap dibanding aku. Si F sangat suka berpuisi dan puisi karya dia lebih bernilai bagus dibanding aku. Hihii. Dia juga yang menciptakan musik kreasi yang tepat untuk puisi itu. Si A ntu pinter nyanyi, terus dia ditugasin buat maenin gitar. (Asem, dia ntu mantan gue). Jadi show must go on. Hehe. Hanya aku yang tidak berkontribusi apa-apa. Suara pun aku ga bagus. Lirik juga ga hapal. Ya udah aku pasrah. Aku pada mereka lah pokok e.

Melombakan puisi. Aku pernah punya pengalaman dua kali ikut lomba baca puisi, yaitu waktu di SMA dan di kampus. Dua-duanya kalah. Yahh, aku jujur aja duluan, daripada kalian capek-capek baca tulisan ini terus liat endingnya ga mulus, hehe. Waktu yang SMA tu aku gugup banget, sampai kertas di tanganku bergetar kayak gempa bumi. Waktu itu aku bawakan puisi dari majalah Bo**. Waktu kuliah aku bawakan puisi ayat terjemahan Al-Quran. Dan waktu aku bacain puisinya, aku tenang aja ga gugup, aku juga natap mata jurinya, aku nganggep ya ini ayat Al-Quran, aku bacakan ya sebagai salah satu dakwah aja untuk disampaikan ke yang lain. Berarti kan aku pernah tuh ceritanya menyebarkan ajaran Allah seperti para Nabi. Hehe.

Well, itulah pengalaman-pengalaman aku seputar puisi. Oh ya, aku juga pernah membacakan puisi di salah satu presentase kelompok di kelas waktu kuliah Sertifikasi 1. Makalah kami judulnya birul walidain, atau hormat kepada kedua orang tua. Waktu itu kami nampilin video setelah menampilkan slide-nya. Isi videonya tentang ibu dan ada lagu Bunda penyanyi Melly Goeslaw. Terus sambil nampilin video, aku baca puisi. Seluruh kelas jadi terharu karena ingat dengan ibu mereka. Yahh, aku mungkin dicubitin sama ibu-ibu mereka kalo ditau aku bikin nangis anak-anak mereka. Hehe. Aku juga pernah diberi kesempatan untuk membacakan sari tilawah (terjemahan) ayat Al-Quran di suatu acara yang digelar organisasi keislaman yang kuikuti. Waktu aku bacain tilawah ntu, aku bener-bener kayak baca puisi sampe diketawakan temen-temenku. (Dodol, bedain baca puisi dan sari tilawah aja ga becus).

Intinya: membaca, menulis, ikut lomba atau apa pun tentang puisi itu mengasyikkan. Puisi itu adalah kata dimana itu hanya milik kamu rangkaiannya, dan tak ada seorang pun yang dapat menyalahkan sajak-sajak yang kita buat, karena itu seperti pendapat yang menjadi hak setiap warga Negara.

Sincerely.
^.^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar