Selasa, 17 Januari 2012

Responsi

Yang belum pernah denger kata itu pasti bingung yah? Sewaktu aku pertama kali masuk kuliah di farmasi UAD aku juga bingung, apalagi pas ngerasain menjelang responsi bingungnya jadi bertambah 1000kali lipat. Responsi itu ujian akhir buat praktikum. Tiap satu mata praktikum akan diujiankan di akhir semester. Persenan nilainya jelas akan lebih besar dibanding pretes atau laporan. Tapi sayangnya, aku selalu merasa merana setiap habis responsi. (Klo kayak di film kartun ada awan mendung di atas kepala gitu). Dan bener aja, diantara sekian responsi yang udah aku jalanin nilai tertinggi hanya “nilai-kaca-mata”. Ada sih satu yang “nilAi-yAng-diidAmkAn”, tapi itu untuk praktikum yang wajibnya apoteker. (????)

Yaudahlah langsung aja aku ceritain pengalaman responsi aku. Mulai dari semester 1, ada Teknologi Informasi, Morfologi Tumbuhan, dan Kimia Dasar. TI begitu kami menyingkatnya, lumayan bisa aku kerjakan sih, paling yah aku pusing sama excel dan statistiknya aja, dan inilah yang dapat “nilAi-yAng-diidAmkAn” itu. Hahahhaahaa. (Sombooooong, wuuuuu). Hehe, gapapa donk, kapan lagi nyombongin “nilAi-yAng-diidAmkAn”. Tapi ternyata satu angkatan untuk nilai akhir praktikum itu semua juga dapat “nilAi-yAng-diidAmkAn”. (Tiba-tiba awan mendungnya muncul lagi di atas kepala, terus ada hujan sama petirnya sekalian).

Terus responsi Mortumb, begitu kami menyebutnya. Waktu itu sistemnya rolling pake waktu, jadi aku ke satu meja, terus begitu palu diketok (kayak sidang aja yaah?) langsung pindah meja. Ditiap meja soal tentu berbeda-beda. Ironinya dari dulu aku ga pernah minat sama tumbuhan-tumbuhan kayak gitu. Disuruh identifikasi daun lah, bunga lah, akar lah. Bisa bedain ranting sama dahan aja aku udah bersyukur. Terus ada juga disuruh tulis apa yang ditunjuk dalam mikroskop lah, ituuu apaa? Kenapa semua hanya ada bulat-bulat? Terus aku musti jawab apa, “yang ditunjuk: sesuatu pokoknya yang bulat-bulat entah itu floem, xylem, atau donat (karena aku kelaperan belum sarapan)”.

Terus responsi KD, begitu kami nyebutnya. Yang ini tertulis sama kayak ujian biasa. Bedanya ya soalnya tentang yang udah dipraktikumkan. Parahnya, aku ga ingat apa-apa selama menjalani praktikum. (Kayaknya bukan saya deh yang praktikum waktu itu, mungkin itu kembaran saya. ?????). Ya ampyuuun, iki jowoban ne opo? Aku frustasi sampe pengen gigit tangan orang. Hehe. Tapi aku pengen banget jadi asisten praktikum ini, hanya aja aku cuma dapat “nilai-kaca-mata” sedangkan yang persyaratannya harus “nilAi-yAng-diidAmkAn”. (Apaa? Aku ga masuk persyaratan? Tidaak. Strees, terus bakar lab. Haha).

Itu yang semester satu. Lanjut ke semester dua, ada Farmasetika, Mikrobiologi, dan Farmasi Fisika. Mikro, gitu aja kami nyingkatnya, juga sama seperti responsi KD, tertulis. Isi soalnya semua tentang bakteri-bakteri, sampe-sampe pulang responsi aku pengen mandi pake antibiotik. (Toloong, bakteri udah menjajah isi otakkuu). Terus aku sambil ujian masih aja terbayang aroma inkubator tempat biakan bakteri di lab, sampe temen yang duduk samping aku heran dan nyiumin keteknya, penasaran kenapa aku tutup idung terus. (Hehe, bercanda).

Terus responsi Farfis, gitu kami menyingkatnya. Wawancara, dua-dua. Aku sama temanku, dia yang ngambil undian materinya. Mampus. Dapat materinya yang aku ga kuasai. Selama wawancara, aku jawab alakadarnya aja. Salah ga salah bablas terus. Ujian wawancara itu ga sama paniknya dengan ujian tulis cuy. Ujian tulis cuma panik di awal, terus setelah itu masih bisa berpikir logis nyari jawaban. Kalo wawancara, sekali panik, yaudah sampe berakhir tuh wawancara juga tetep panik, jadi yang ada adalah jawaban tidak logis. Aku sama temenku udah saling lirik-lirik waktu dapet pertanyaan yang kami ga bisa jawab. Yang ada jadinya senyum antara dongo dan pasrah. Akhirnya kami cuma dapat “nilai-bulan-sabit”, dan kami sepakat males ngulang ujian ini. (Ga usah ajaa yaa, ya ya yaaa).

Terus responsi Farmaset, gitu kami nyingkatnya. Wih ini nih yang rame, racik obat dari resep. Sepanjang sejarah anak farmasi UAD, responsi ini yang paling menyesatkan dan bikin stress (nanti juga sih waktu Ilmu Resep). Mati-matian pelajari resep. Catat: ga pernah sama sekali pelajaran resep itu diajarin waktu SMA. Alur responsinya masuk, absen, ngambil undian. Ngeliat resep yang aku dapat ternyata yang lumayan, ga gampang ga susah gitu. Kalo ga salah ingat dapat pulveres ekstrak Belladone sama suppositoria yang pake PEG, tapi aku lupa zat berkhasiatnya apa. (Mungkin aminophilin, eh tau ah, lupa). Tapi namanya juga panik-ujian, perhitungan DM ku ternyatan ga tepat. Dan aku salah bahan. Harusnya tuh tambahin sacharum lactis (laktosa), tapi saking paniknya aku ga liat ada bahan itu waktu lagi lari-larian nyari di lemari bahan, ya udah aku ambil sukrosa. (Ngek!). Udah gitu suppo-ku belum jadi lagi, masih di kulkas, jelas aja salah lagi karena belum diberi etiket. Waktu di wawancara di akhir, aku udah pasrah. Ckckckck, parah. Yaudah, pas pengumuman nilai (ditempel pula di depan lab) aku ga liat ada nama aku nongol. Itu kemungkinannya ada dua, kalo ga “nilai-bulan-separo” ya berarti “nilai-sisir-rambut”. Jadinya aku ngulang deh, tapi untungnya ngulangnya pake ujian tertulis aja, dan untungnya lagi dapat resep yang lumayan lagi. Akhirnya berubah deh nilai ku ke “nilai-kaca-mata”. (Horee, yippiieee).

Sekarang yang lagi hot-hot-nya di akhir semester tiga-ku sekarang ini adalah Formulasi dan Teknologi Sediaan Padat, Kimia Analisis, dan Kimia Organik. FTS Padat, begitu kami nyingkatnya. Tes tertulisnya lumayan lah bisa dijawab, yang penting diisi toh. Parahnya wawancara teori dan wawancara alat aku diuji dengan dosen yang tipenya tuh dieem aja. aku salah kek, bener kek, dosennya dieem. Aku cuma diberi dua pertanyaan, faktor uji homogenitas sama uji disolusi. Disolusinya udah OK, mantap. Faktor homogenitasnya lancar. Udah dengan mantep aku bilang kalo faktornya ada delapan. Tapii jeng jeeng, waktu masuk ke faktor ke-7 dan ke-8 aku lupa, ingatanku rasanya kosong. Padahal sebelum masuk ruangan tadi aku masih ingat. Aseemm. Akhirnya dengan nada pasrah aku bilang ke dosenku, “Saya lupa, Bu”. Keluar-keluar aku murung plus ada awan badai di atas kepalaku. Sebelum keluar aku sempet nanya apa nilaiku cukup atau ga, ibunya bilang sih cukup. Addoh, mencurigakan. Pas wawancara alat, aku berusaha ga jatohin alatnya. Dapatnya uji waktu alir dan uji kerapuhan tablet. Dengan pede aku jelasin alat waktu alir, “Setelah dimasukin granulnya terus penutup bawah di tarik.. lohh kok.. lohh.. kok ga bisa ditarik.. kok keras ya, Bu?” (Gubraakk). Hal yang sama juga terjadi waktu di alat friability tester, “Dimasukkan 20 tablet ke dalam, terus di-start. Lohh Bu, kok ga mau muter? Lohh, ini kenapa ya, Bu? Harusnya muter eh, Bu”. (Menangis ga punya harapan).

Beralih deh ke responsi KA, gitu disingkatnya. Tapi baru mau responsi aku hampir kena sial. Telat. Huaa, lagi sepersekian detik aja aku pasti telat datang responsi. Responsinya praktek dan buat laporan. Sampel yang mau dititrasi diundi. Aku dapet Metampiron, glekk berarti iodimetri. Padahal kemaren praktikum gagal nemu TA (titik akhir) nya. Dengan sabar aku menerima cobaan ini. Setelah pusing nyari meja yang sesuai, aku nemu juga meja yang ada pelarut dan titran yang cocok. Tapi waktu nimbang aku ga cermat (udah gitu timbangannya lari-larian lagi, lagi maen kejar-kejaran ya, Pak Timbang?) akhirnya aku pindah timbangan, tapi sampelku selisih 38miligram dari yang seharusnya. Tapi aku berhasil nemu TA. (Thanks God, sujud syukur). Kalo laporannya sih aku ngerasa udah lumayan lah kemaren ngerjainnya, tapi ga tau deh nilainya kayak apa ntar.

Terus yang barusan aja kelar nih responsi KO, gitu disingkatnya. Wawancara dan alat. Begitu masuk, milih mbak-mbak asistennya. Hasil undian, aku dapat alat refluks. Lancaaar, selancar jalan TOL. Begitu alat kedua (sama mbak-nya yang lain) dapatnya titik lebur, aku mulai deh terserang demam-panik-ujian lagi. Ya salah sebut nama alatnya lah, ya salah pas ngeliat titik leburnya lah, harusnya heating jadi cooling lah. (Huaaaaaa). Terus pas wawancara, milih juga dosennya siapa. Sampe detik ini aku masih ga percaya sama diri aku sendiri yang milih dosen yang udah bergelar doctor itu. (Bodoh, bodoh, bodoh). Tau ga apa yang terjadi sampe dihadapan dosennya? Aku Blank. Semua yang udah mati-matian ku pelajari nguap gitu aja. Aku ga ingat apa ditambah apa, kenapa, bagaimana, kayaknya aku juga ga ingat siapa aku? Huhu, mau nangis aku rasanya lama-lama dalam ruangan itu. Banyak pertanyaan yang kujawab ga lengkap, banyak yang di-pass, pas balik ke pertanyaan itu, ternyata aku makin ga bisa jawab apa-apa. Untuk menetralkan kalkon saja aku lupa pake apa, padahal pas diluar aku mudah banget ngejawab. Akhirnyaa, aku hanya tersenyum dan tertawa-tawa ke dosennya sampe dosennya bilang “Aduh, mbak, jangan keras-keras”. (Gubraak, aku milih pingsan aja deh saat itu). Terus aku ngelirik sepintas nilai-nilai dari jawabanku, angkanya “imut” banget, ada 6, 3, 4, dan kayaknya ada yang kosong. (Kayaknya bukan sekedar badai lagi di atas kepalaku, tapi udah banjir bandang).



Ga ada puisi yah untuk topik ini, aku lagi berduka atas kegagalan responsi. (Pergi ke sudut kamar, sambil nangis darah, dan garuk dinding [hehe, pinjem istilah temen-ku]).

Intinya: belajar ga belajar hasil akhirnya sama aja kalo menghadapinya dengan panik, dan belajar dalam waktu singkat itu juga sama saja dengan ga belajar, ga ada yang nempel di otak, sama seperti sifatnya minyak atsiri, mudah menguap tidak berbekas.

Sincerely.
^.^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar